“Ayah: Sebuah Anugerah” Ungkapan Hati Seorang Anak
Kaifa Ihtada
23/3/2011 | 19 Rabiuts Tsani 1432 H | Hits: 3.726
Oleh: Syaefudin
dakwatuna.com - Malam ini, tak terasa air mata deras mengalir membasahi pipiku. Berteman notebook dan tumpukan buku, anganku bergegas menerawang kenangan masa lalu. Saat-saat membersama Ayah tercinta, yang begitu kental menjejakkan arti di kedalaman kalbu.
Adalah sebuah kisah, kenyataan juang seorang Ayah di desa terpencil, di Jawa Tengah. Usia yang tak lagi muda, tetap tak memupuskan semangat untuk membesarkan dan mendidik anak semata wayang sampai meraih cita yang diidamkan.
Ia tak berpendidikan tinggi, layaknya saudara dan tetangga di kampungnya yang bisa sekolah sampai SMA bahkan perguruan tinggi. Ia hanya lulusan Sekolah Dasar. Fakta hidup bahwa ia adalah anak tertua di keluarga, membuatnya lebih dewasa, menjadi tumpuan kelangsungan hidup dan pendidikan adik-adiknya.
Meski usia masih muda, ia adalah tulang punggung keluarga. Tak pernah terbesit sedikit pun berontak, berlari meninggalkan tanggung jawab, dan membiarkan kedua orang tuanya yang sudah menginjak lanjut usia mengurus keluarga. Alhasil, setamat SD ia langsung merantau mencari sesuap nasi untuk menghidupi kelima adik dan orang tua tercinta.
Tempaan hidup, kematangan, dan kesabaran memikul tanggung jawab sewaktu muda, membawanya menjadi pribadi yang berwibawa. Sampai, suatu saat ia ditinggalkan istri tercinta, yang mendahului bertemu Sang Pencipta. Saat Ibunda tutup usia, saya masih berumur 3 tahun. Saat itu, Ayah memutuskan untuk ‘tidak’ menikah kembali sebelum melihat buah hatinya besar dan sukses. Entah, jujur keputusan ini belum saya dengar langsung dari Ayah. Tak sedikit pun ia pernah bercerita tentang dirinya. Namun, dari kisah yang saya dapat dari teman dan kerabat dekatnya, begitulah Ayah bertekad.
Sesosok Ayah yang hebat. Itulah kalimat ringkas, yang meski sederhana tapi menurut saya cukup mewakili pengorbanan Ayah dalam memperjuangkan hidup dan penghidupan keluarga. Masih tersimpan dalam memori otak saya, beberapa episode mengharukan bersamanya.
Sewaktu kecil, melihat anak-anak berseragam putih merah berangkat menimba ilmu, saya merengek minta masuk sekolah. Segala upaya dilakukan Ayah, kakek, dan nenek untuk meredam ‘tindakan aneh’ saya yang menginginkan sekolah. Saat itu kata guru SD usia saya belum mencukupi kriteria masuk sekolah. Tak lazim anak seumuran saya sudah masuk sekolah, harus menunggu waktu setahun lagi baru boleh mengenyam pendidikan SD (‘kebijakan’ yang baru saya sadari berbeda dengan kenyataan di kota besar, usia saya saat itu sebenarnya sudah diperbolehkan sekolah).
Berulang kali Ayah menjelaskan kepada saya alasan kenapa tidak boleh sekolah saat itu. Namun, berulang kali juga rengekan saya menjadi-jadi. Akhirnya, dengan segala upaya Ayah mencoba menuturkan keinginan saya ke pihak sekolah. Alhamdulillah, akhirnya saya bisa mengenyam pendidikan Sekolah Dasar. Dari sini saya belajar, betapa rasa sayang sesosok lelaki ber-‘mahkota’ Ayah sangat tinggi terhadap buah hatinya.
Lain waktu, saat saya duduk di bangku SLTP, ada kejadian yang tak kalah mengharubirukan hati. Kala itu, hujan semalam yang mengguyur bumi menyisakan limpahan air bah banjir di desa dan kecamatan kami. Pagi hari menjelang jam berangkat sekolah, dengan sisa-sisa air banjir yang masih mengalir deras menyusuri jalanan tak beraspal, tak mungkin bagi saya naik sepeda seperti biasa karena jalanan becek. Pun, tak mudah bagi saya mendapatkan angkutan umum semacam mini bus karena pagi itu jam padat anak sekolah dan pedagang. Di tengah kesulitan dan keinginan masuk sekolah tersebut, Ayah menyambut dengan tindakan. Ia akan mengantarkan saya ke sekolah dengan sepeda tuanya. Artinya, ia menerjang deras nya aliran banjir, mengalahkan liatnya tanah yang menempel di roda-roda sepeda, serta menempuh minimal setengah jam perjalanan dari rumah ke sekolah yang berada di pusat kecamatan.
Itulah Ayah. Ia mengajari ku arti pengorbanan. Tak ada rasa malu baginya mengantarkan buah hati menuju cita-cita ‘bersekolah’ meski hanya berbekal sepeda tua, berlomba menunjukkan ‘cinta’-nya kepada orang tua lain yang mengantarkan anak mereka dengan sepeda motor atau mobil pribadi. Ketika kaki berlumur lumpur itu mengayuh sepeda, kulihat wajah yang tetap anggun dan memancarkan aura semangat kepada jantung hatinya. Seolah-olah, dengan tetes keringat yang menempel di dahi bergurat terik mentari itu ia berkata “Nak, ayo…Ayah mendukungmu. Apa pun yang kamu inginkan, kan kuturuti. Tak peduli kata orang. Semampu ku, insya Allah akan ku bantu”.
Menjelang lulus SMU, alhamdulillah saya diterima di sebuah Perguruan Tinggi Negeri ternama melalui jalur PMDK. Saya ingat, saat itu masih bulan Maret-April. Jauh hari sebelumnya, saya pernah berujar pada Ayah bahwa saya akan melanjutkan kuliah.
Mendengar keinginan saya, Ayah pun bertanya tentang waktu masuk kuliah nya. Karena dulu saya belum menentukan secara spesifik akan melanjutkan ke PT mana dan jurusan apa, saya bilang sesuai pengetahuan saya bahwa biasanya mahasiswa mulai aktif kuliah bulan Agustus atau September. Apa gerangan Ayah menanyakannya? Ya, tentu berkaitan dengan persiapan dana yang tidak sedikit untuk masuk kuliah. Namun, pengumuman PMDK yang ‘lebih’ awal, sempat membuat saya kaget bercampur gembira. Di pengumuman tersebut, saya harus mendaftar ulang dan memulai kuliah matrikulasi bulan Juni. Ini 3 bulan lebih awal dari bayangan saya. Kabar ini langsung saya beritakan kepada Ayah. Lalu, surat pengumuman pun saya berikan. Melihat isi pengumuman, Ayah gembira. Namun, sejurus kemudian ia termenung dan dengan mata agak berkaca-kaca ia berujar, “Jadi, masuknya bulan Juni?”
Tak aneh bagi saya mendengar pertanyaan Ayah. Ya, terkaan saya benar: biaya. Setidaknya jadwal kuliah yang lebih awal itu belum diprediksi Ayah. Boleh jadi, saat itu ia belum memperoleh uang yang cukup untuk membiayai perkuliahan saya. Dengan nada optimis, saya berujar pada Ayah “Tenang, Ayah…nggak usah mempermasalahkan biaya. Insya Allah saya akan usaha nyari uang pinjaman ke guru-guru di SMU”.
Entah, kenapa saat itu saya sangat optimis. Mungkin, keinginan terbesar saat itu bagi saya adalah bagaimana mata Ayah yang berkaca-kaca, disertai dengan suara bergetar karena menangis belum mendapatkan sejumlah uang yang harus disiapkan untuk daftar ulang kuliah, segera terhenti dan beralih bahagia karena anak semata wayangnya diterima kuliah di PTN favorit. Masya Allah, fabi ayyi aalaa’i robbikumaa tukadz-dzibaan? Bukankah Engkau telah menganugerahkan Ayah yang pantang menyerah menyekolahkan anak-nya? (*/Syef)
“Semoga Allah melimpahkan nikmat iman, Islam, dan keberkahan hidup pada Ayahanda nun jauh di sana. Maafkan, Ananda belum bisa menjadi tumpuan yang diharapkan. Suatu saat, kuingin kita berkumpul, bercerita tentang anakmu, harapanmu, dan kebahagiaanmu”.
(*/Sebagaimana dikisahkan oleh seorang mahasiswa. Kini, ia tengah menempuh program magister sambil bekerja di sebuah institusi perguruan tinggi. Semasa meraih pendidikan sarjana, ia mendapatkan beasiswa penuh dari berbagai institusi dan atas nama pribadi. “Saya yakin, Allah selalu memberikan yang terbaik bagi kami”, ujarnya optimis)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 Response to "Ayah: Sebuah Anugerah"
Posting Komentar